Membongkar rahasia sukses toko Tionghoa
Orang Tionghoa seringkali diidentikkan dengan toko. Hal ini bisa dimaklumi karena kebanyakan mereka selalu bekerja dengan membuka toko alias berdagang. Tidak sedikit dari mereka memulai dari mereka memulai dari nol dan akhirnya sukses menjadi pebisnis-pebisnis papan atas. Sebutlah Djoenaidi Jusuf (Pak Jun) yang memulai dengan berdagang obat menggunakan sepeda keliling di Surakarta.
Toko obatnya, Apotek Kondang Waras telah menjadi penggerak dan menjelma menjadi preusahaan kaliber PT. Konimex. Banyak bukti menunjukkan toko telah menjadi milestone kebanyakan perusahaan bahkan negara. Sumbangannya mampu menjadi penggerak ekonomi. Tengoklah Singapura dan Hongkong yang menjadi surga belanja karena tokonya. Salah satu toko pakaian asal Hongkong, Giordano misalnya Giordano dikembangkan oleh Jimmy Lai dan berjaya menjadi franchise papan atas di Asia.
Bagaimana orang Tionghoa membangun tokonya? Awalnya mereka adalah kaum miskin yang untuk makanpun susah. Namun berkat dorongan dan semangat untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik, mereka sudi bersusah payah. Untuk menjadi pegawai atau karyawan kantoran waktu itu, mereka tidak memiliki kualifikasi. Pilihannya jatuh pada pekerjaan berdagang atau membuka toko. Toko dipandang sebagai pekerjaan ideal yang mampu mengantarkan mereka memperoleh uang dan keuntungan yang cepat. Begitu barang laku terjual langsung mendapat keuntungan (coan). Uang pun cepat berlipat ganda.
Kalau tadi disebutkan semula mereka tidak punya uang, lalu bagaimana modal awalnya? Di sinilah mereka cerdik memanfaatkan jaringan (guanxi). Sebagai contoh tidak punya uang untuk beli barang dagangan, bisa dilakukan dengan meminjam barang dagangan milik saudara. Laku baru bayar atau konsinyasi. Kalau tidak punya pemasok cukup meminta jaminan dari relasi yang punya pemasok.Untuk itu mereka berupaya membangun kepecayaan supaya bisa langgeng. Kepercayaan penting untuk bisa sukses angka panjang. Dari kepercayaan ini mereka bisa mendapat mitra (hoping) untuk mengembangkan toko, entah itu sebagai pemasok maupun pelanggan.
Orang Tionghoa pandai mengubah hubungan yang awalnya dari transaksi menjadi mitra mereka jalin pertemanan sebanyak mungkin. Ini bak ungkapan populer “satu musuh terlalu banyak, seribukawan belumlah cukup”. Tak heran jika dari pertemanan ini pelanggan menjadi setia. Mareka pun cincay saja memberikan hal-hal kecil seperti nasehat, konsultasi, atau segelas Aqua kepada pelanggan secara Cuma-Cuma. Meski mereka memberikan dengan tulus, namun layanan seperti ini umpan untuk menarik pembelian. Dari sinilah pembeli baru didapat.
Orang Tionghoa juga mengedepankan kepercayaan. Bagi mereka membuat dirinya dipercaya adalah penting. Untuk bisa dipercaya, mereka berupaya bertindak yang masuk akal atau ceng li. Mereka paham pembeli yang tidak percaya pasti tidak akan kembali lagi. Ini mendorong mereka selalu menjaga kepercayaan di mata pelanggannya.
Insting wirausaha orang Tionghoa juga tajam. Kalau ada peluang tidak disia-siakan. Mereka lihai membaca lokasi toko, barang yang dijual dan elanggan yang dibidik. Kunci memilih lokasi toko cukup simpel. Kalau lokasi banyak dilalui orang, maka hokinya bagus. Kalau lokasinya bagus setidaknya gampang menjual. Untuk itu barang mereka upayakan berputar cepat. Jika perlu barang yang lambat mereka korbankan demi menjadikan uang kembali. Setelah jadi uang, mereka “putarkan kembali” menjadi barang. Uang pun menjadi produktif.
Pemilik toko Tionghoa disiplin dalam keuangan. Uang toko hanya untuk toko. Pemilik rela menunda kesenangannya untuk membesarkan toko lebih dulu. Kalau dari ini untung banyak, bukan berarti lupa daratan dengan berfoya-foya. Jatah uang untuk biaya hidup tetap, tidak linear dengan pemasukan toko. Ini seperti filosofi telur dan ayam. Kalau untuk hidup membutuhkan 2 butir telur maka hanya boleh mengambil 2 telur. Misalnya ayamnya hari ini bertelur 3, maka pemilik ambil 2 telur untuk makan keluarganya.
Kalau besok ayamnya bertelur 4, dia tetap ambil 2, tidak kemudian 4! Kalau lusanya, si ayam bertelur 5, tetap yang boleh dimakan hanya 2 butir. Demikian tetap konsisten. Telur-telur yang tidak diambil tadi dibiarkan menetas untuk menambahjumlah induk ayam yang baru. Kontan saja jumlah induk ayam bertambah. Induk ayam yang baru juga bertelur. Beginilah sebagian filosofi mereka mengembangkan foko dan nol hingga skhirnya berkembang pesat. Masih penasaran? Selengkapnya anda di buku penulis “Rahasia Sukses Toko Tionghoa.”
Comments
Post a Comment