Opera Tanah Liat
Entahlah teramat nisbi hidup ini dikalimatkan
Pada liang-liang rahasia yang tak terjemahkan
Sementara usiaku merangkak semakin dekat
Bahkan semakin berimpitnya dengan kehentian
Dan begitu dekatnya aku dengan
Pengadilan tingkah laku
Tetapi aku masih saja bermain topeng
Meyeret wajah sendiri
Seperti bocah kecil menyeret mainan dari tanah liat
Melata terus diantara cahaya cakrawala
Tuhanku,
Kepurukanku adalah kepurukan angin yang dilecut matahari
Dan dihalau gunung dari lembah-lembah rahasia
Dari artefak-artefak kesangsian
Dimana wajah burukku senantiasa berkaca
Dimana jasatku bermain maya
Tersembelih dalam rel peradapan
Mengetuk-ngetuk senyum di tengah kegelisahan
Membangun opera wayang dalam batas jagad kelir
Aku adalah akar yang seringkali mencari di kedalaman lumpurMu
Aku kian asing memakai wajah sendiri
Yang seringkali ingin kulepas dari leherku yang liat
Yang berpantul-pantul dipilinleher sendiri
Aku seringkali dibanggakan dengan kenisbian-kenisbian
Dalam opera geraham-geraham palsu
Yang seringkali menggigit tarian-tarianku
Ketika kegelisahanku bertanya
Kemanakah mesti kumelatakan.
Segumpal tanah liat untuk mencari kuburnya sendiri
Tuhanku,
Beri aku arti
Dari setiap kesangsian-kesangsian
Yang seringkali mengantarku
Dari debu-debu jalanan
Tak lebih bukan, aku hanya menunggu waktu
Dengan beban yang tak pernah memiliki jarak bias
Rasa sakit dan ketiadaan kebebasan
Pemikiran dan imajiku
Meraung-raung mencoba melepaskan diri
Dari takdirku yang terkemas
Bukankah setiap kupu-kupu lahir dari kepompong
Dan kepompong lahir dari dari ulat yang meringkuk
Dan ulat lahir dari telur dan telur keluar dari induk
Siapa yang berani bercakap lebih dari kepasrahan
Sandiwara ini terasa basi kita mainkan
Meski telah beribu kali kita ubah wajah dan
Kostum pembungkus tubuhmu
Permainan ini tak lebih dari opera kecoa
Yang membisingkan langkah malam
Tak pernah bulan tertegun menyapa kebodohan
Dan kita menyebutnya sebagai sejarah
Pada mayat sendiri yang kemarin mati di tengah peradaban
Kit menyebutnya pencetus
Pada imaji-imaji buruk yang kita keluarkan dari mulut berbusa yang memberangus setiap kepasrahan
Yang menjadi rantai kebohongan yang besar
kita menyebutnya pemikir
ketika sekian mayat terkapar lapar
kemudian kita berpura-pura menyelesaikan dengan seminar di meja bundar
tempat menggesekkan jidat-jidat kita
yang botak tak berotak dan kita menyebutnya idealisme
untuk penyembelihan nurani yang tak lagi dapat bergenta
menerjemahkan membaurnya senja dan awal senja
lantas apalagi dengan tanah liat ini
aku menciptakan gerabah untuk aku makan sebab aku tak ingin dikatakan pemakan jasadku sendiri
lantas dengan musik dan lengkingan
aku memakan telinga dan mulutku sendiri
lantas dengan rupa
aku memakan tangan dan mataku sendiri
segalanya hanya hitam tanah liat
aku lebih merdeka menyisir malam
dengan dzikir-dzikir ketakberdayaanku
Maafkan Tuhanku
Aku merasa percakapan-percakapan kehidupan
tak memiliki arti
Meski Kau sapa aku dengan
“Tak ada yang sia-sia tercipta”
Aku tak pernah bangga dengan mayat berkostum.
Yang menghadapMu dengan keberanian kebohongan
Ketika berjuta larva busuk membuka gerahamnya
Aku hanya ingin kesederhanaan dan kebenaran kematian.
by. didiet
Pada liang-liang rahasia yang tak terjemahkan
Sementara usiaku merangkak semakin dekat
Bahkan semakin berimpitnya dengan kehentian
Dan begitu dekatnya aku dengan
Pengadilan tingkah laku
Tetapi aku masih saja bermain topeng
Meyeret wajah sendiri
Seperti bocah kecil menyeret mainan dari tanah liat
Melata terus diantara cahaya cakrawala
Tuhanku,
Kepurukanku adalah kepurukan angin yang dilecut matahari
Dan dihalau gunung dari lembah-lembah rahasia
Dari artefak-artefak kesangsian
Dimana wajah burukku senantiasa berkaca
Dimana jasatku bermain maya
Tersembelih dalam rel peradapan
Mengetuk-ngetuk senyum di tengah kegelisahan
Membangun opera wayang dalam batas jagad kelir
Aku adalah akar yang seringkali mencari di kedalaman lumpurMu
Aku kian asing memakai wajah sendiri
Yang seringkali ingin kulepas dari leherku yang liat
Yang berpantul-pantul dipilinleher sendiri
Aku seringkali dibanggakan dengan kenisbian-kenisbian
Dalam opera geraham-geraham palsu
Yang seringkali menggigit tarian-tarianku
Ketika kegelisahanku bertanya
Kemanakah mesti kumelatakan.
Segumpal tanah liat untuk mencari kuburnya sendiri
Tuhanku,
Beri aku arti
Dari setiap kesangsian-kesangsian
Yang seringkali mengantarku
Dari debu-debu jalanan
Tak lebih bukan, aku hanya menunggu waktu
Dengan beban yang tak pernah memiliki jarak bias
Rasa sakit dan ketiadaan kebebasan
Pemikiran dan imajiku
Meraung-raung mencoba melepaskan diri
Dari takdirku yang terkemas
Bukankah setiap kupu-kupu lahir dari kepompong
Dan kepompong lahir dari dari ulat yang meringkuk
Dan ulat lahir dari telur dan telur keluar dari induk
Siapa yang berani bercakap lebih dari kepasrahan
Sandiwara ini terasa basi kita mainkan
Meski telah beribu kali kita ubah wajah dan
Kostum pembungkus tubuhmu
Permainan ini tak lebih dari opera kecoa
Yang membisingkan langkah malam
Tak pernah bulan tertegun menyapa kebodohan
Dan kita menyebutnya sebagai sejarah
Pada mayat sendiri yang kemarin mati di tengah peradaban
Kit menyebutnya pencetus
Pada imaji-imaji buruk yang kita keluarkan dari mulut berbusa yang memberangus setiap kepasrahan
Yang menjadi rantai kebohongan yang besar
kita menyebutnya pemikir
ketika sekian mayat terkapar lapar
kemudian kita berpura-pura menyelesaikan dengan seminar di meja bundar
tempat menggesekkan jidat-jidat kita
yang botak tak berotak dan kita menyebutnya idealisme
untuk penyembelihan nurani yang tak lagi dapat bergenta
menerjemahkan membaurnya senja dan awal senja
lantas apalagi dengan tanah liat ini
aku menciptakan gerabah untuk aku makan sebab aku tak ingin dikatakan pemakan jasadku sendiri
lantas dengan musik dan lengkingan
aku memakan telinga dan mulutku sendiri
lantas dengan rupa
aku memakan tangan dan mataku sendiri
segalanya hanya hitam tanah liat
aku lebih merdeka menyisir malam
dengan dzikir-dzikir ketakberdayaanku
Maafkan Tuhanku
Aku merasa percakapan-percakapan kehidupan
tak memiliki arti
Meski Kau sapa aku dengan
“Tak ada yang sia-sia tercipta”
Aku tak pernah bangga dengan mayat berkostum.
Yang menghadapMu dengan keberanian kebohongan
Ketika berjuta larva busuk membuka gerahamnya
Aku hanya ingin kesederhanaan dan kebenaran kematian.
by. didiet
Comments
Post a Comment