Pasar Lelembut
Pasar Lelembut. Rumahku terdapat Pasar Lelembut. Mungkin banyak orang yang tidak mempercayai atau bahkan mencibirnya. Perihal rumah itu, kudapatkan dengan perjalanan yang cukup unik. Beginilah ceritanya.
Tahun 1972 aku diangkat menjadi PNS, menjadi guru olah raga (Penjaskes) di sebuah SD kota gaplek, Wonogiri. Asalku dari Wonosari, Gunung Kidul. Hidup sendiri di tempat yang baru membutuhkan penyesuaian diri. Sebab, meskipun sama-sama bersuku Jawa, antara Wonogiri dan Wonosari memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda, utamanya tentang bergaul.
Tahun 1975 aku menikah. Istriku asli Wonogiri. Kami mengontrak rumah yang tidak jauh dari tempat kerja. Pada tahun pertama usia perkawinan kami dikaruniai seorang anak laki-laki. Dua tahun kemudian kami dikaruniai anak lagi. Kali ini perempuan. Lengkaplah kebahagiaan kami. Akan tetapi ada masalah baru, yakni kontrakan kami yang kecil serasa kurang bagus untuk tumbuh kembang kedua buah hatiku.
Tahun 1972 aku diangkat menjadi PNS, menjadi guru olah raga (Penjaskes) di sebuah SD kota gaplek, Wonogiri. Asalku dari Wonosari, Gunung Kidul. Hidup sendiri di tempat yang baru membutuhkan penyesuaian diri. Sebab, meskipun sama-sama bersuku Jawa, antara Wonogiri dan Wonosari memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda, utamanya tentang bergaul.
Tahun 1975 aku menikah. Istriku asli Wonogiri. Kami mengontrak rumah yang tidak jauh dari tempat kerja. Pada tahun pertama usia perkawinan kami dikaruniai seorang anak laki-laki. Dua tahun kemudian kami dikaruniai anak lagi. Kali ini perempuan. Lengkaplah kebahagiaan kami. Akan tetapi ada masalah baru, yakni kontrakan kami yang kecil serasa kurang bagus untuk tumbuh kembang kedua buah hatiku.
Suatu hari aku bicarakan tentang rencana untuk memiliki rumah dengan istriku. Istriku yang lugu agak kaget dengan rencanaku. Aku paham. Sepertinya istriku meragukan akan kesungguhanku untuk memiliki rumah. Namun, setelah kujelaskan bahwa selama ini aku rajin menabung, istriku kelihatan gembira sekali. Lagi pula, meskipun rencanaku ingin memiliki rumah, tetapi dicicil dari sedikit. Jelasnya, aku ingin punya tabungan dulu berupa tanah pekarangan. Sedangkan biaya untuk membangun rumah bisa mengumpulkan sedikit dari sedikit.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tidak jauh dari kota Wonogiri, tepatnya di Bulusulur, kira-kira tiga kilo sebelah timur kota Wonogiri ada yang menjual tanah. Tidak lebar memang, yakni hanya 300 meter persegi. Namun, posisinya cukup strategis karena menghadap jalan raya Wonogiri-Ngadirojo. Oleh empunya tanah, tanah itu dibadrol harga 8 juta. Aku tawar 5 juta karena uangku hanya segitu. Mungkin karena sudah rejekiku, tanah itu diberikan.
Sebulan berikutnya, tanah itu diingini temanku. Aku jawab tidak kujual. Tetapi temanku maksa. Karena dia memaksa, aku beri harga tinggi dengan harapan dia mundur. Akan tetapi dia tetap mau membayar dengan harga 12 juta. Uang 12 juta waktu itu masih berharga sekali.
Dalam satu bulan, uangku yang awalnya hanya 5 juta menjadi 12 juta. Hal ini semakin membuat tekadku untuk memiliki rumah atau tanah pekarangan semakin kuat. Untuk itu aku kembali mencari informasi. Kali ini aku mencari ke daerah Wonokarto. Wonokarto adalah pemekaran dari Kelurahan Giriwono, masih termasuk kota. Atas informasi seorang teman, aku menemui orang yang akan menjual tanah pekarangannya. Ukuran tanah 200 meter persegi. Si empunya tanah mematok harga sepuluh juta. Aku menawar 7 juta. Akhirnya dapat 8 juta. Aku gembira sekali. Apalagi sisa uang yang 4 juta dapat aku belikan motor dan masih sisa sedikit, aku tabung.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tidak jauh dari kota Wonogiri, tepatnya di Bulusulur, kira-kira tiga kilo sebelah timur kota Wonogiri ada yang menjual tanah. Tidak lebar memang, yakni hanya 300 meter persegi. Namun, posisinya cukup strategis karena menghadap jalan raya Wonogiri-Ngadirojo. Oleh empunya tanah, tanah itu dibadrol harga 8 juta. Aku tawar 5 juta karena uangku hanya segitu. Mungkin karena sudah rejekiku, tanah itu diberikan.
Sebulan berikutnya, tanah itu diingini temanku. Aku jawab tidak kujual. Tetapi temanku maksa. Karena dia memaksa, aku beri harga tinggi dengan harapan dia mundur. Akan tetapi dia tetap mau membayar dengan harga 12 juta. Uang 12 juta waktu itu masih berharga sekali.
Dalam satu bulan, uangku yang awalnya hanya 5 juta menjadi 12 juta. Hal ini semakin membuat tekadku untuk memiliki rumah atau tanah pekarangan semakin kuat. Untuk itu aku kembali mencari informasi. Kali ini aku mencari ke daerah Wonokarto. Wonokarto adalah pemekaran dari Kelurahan Giriwono, masih termasuk kota. Atas informasi seorang teman, aku menemui orang yang akan menjual tanah pekarangannya. Ukuran tanah 200 meter persegi. Si empunya tanah mematok harga sepuluh juta. Aku menawar 7 juta. Akhirnya dapat 8 juta. Aku gembira sekali. Apalagi sisa uang yang 4 juta dapat aku belikan motor dan masih sisa sedikit, aku tabung.
Rencana selanjutnya adalah bagaimana agar bisa membangun rumah meskipun kecil dan sederhana. Aku kembali bermusyawarah dengan istriku. Malam itu kami sepakat untuk hutang di koperasi atau bank. Namun, keesokan harinya aku kedatangan teman. Teman itu bermaksud ingin membeli tanah pekaranganku. Khusus untuk teman ini aku tidak bisa bilang tidak. Sebab ia adalah sahabat karibku yang selama ini banyak membantu kami. sebagai tolakan halus agar dia mundur, tanah yang kubeli dengan harga 8 juta itu aku tawarkan 25 juta. Anehnya temanku langsung setuju. Antara sedih dan gembira campur jadi satu saat itu. Sedihnya, aku sudah merasa senang dan nyaman dengan tanah pekaranganku itu. Senangnya, hanya selang dua hari, modal 8 juta bisa berubah menjadi 25 juta. Aku hanya bisa mupus bahwa inilah rejeki masing-masing kami.
Di lingkungan Wonokarto aku memang sudah sangat nyaman. Untuk itu aku segera mencari informasi tentang tanah atau rumah dijual. Tidak jauh dari bekas pekaranganku ada orang yang menjual rumah berikut pekarangannya. Rumah itu cukup megah dan menghadap jalan utama. Pemiliknya adalah mantan seorang pejabat. Sebenarnya aku agak ragu untuk menawarnya, sebab kuperkirakan harga mendekati ratusan juta rupiah. Anehnya, rumah semegah itu hanya ditawarkan 30 juta saja. Aku berkata jujur bahwa sebenarnya berminat membeli, tetapi uangku hanya 25 juta. Anehnya lagi, rumah megah itu dilepas oleh yang punya. Aku seperti tidak percaya dengan apa yang aku alami. Namun, semua ini kenyataan.
Awal-awal bulan menempati rumah baru, kehidupan keluargaku biasa-biasa saja. Tidak ada peristiwa yang aneh-aneh. Akan tetapi seiring waktu ada kejadian-kejadian yang tidak masuk akal. Awalnya, aku sering kehilangan uang-uang kecil. Aku biarkan sebab kukira anak atau istriku yang mengambilnya. Namun timbul pikiranku bahwa membiarkan berbuat tidak baik meskipun hanya mengambil uang kecil itu tetap tidak baik. Untuk itu di saat kami makan bersama, aku ungkapkan tentang kehilangan uang itu. Anehnya, istri dan anak-anakku merasa tidak pernah berbuat seperti itu. Jangankan mengambil, ibarat membuka laci tempat menaruh uang saja istri dan anak-anakku tidak berani.
Hari-hari selanjutnya aku sering kehilangan uang dengan nominal yang lebih besar. Jika awalnya hanya 500 atau 1000 rupiah, menjadi 5000 hingga 10000 rupiah. Awal tahun 90-an uang 10000 rupiah itu masih berharga. Kali ini aku marah. Bisa saja alasan anak dan istriku kemarin hanya untuk menutupi perbuatannya. Akibatnya, aku sering bertengkar dengan istriku. Dan kejadian itu hampir setiap hari. Bahkan hal-hal yang sepele bisa menjadi penyebab pertengkaran.
Untuk membuktikan bahwa anak dan istriku tidak mengambil uang, suatu hari Minggu aku menaruh uang dilaci dan kukunci. Aku sengaja tidak kemana-mana waktu itu. Bahkan kunci laci aku kantongi. Beberapa jam kemudian laci aku buka. Betapa kagetnya ternyata uang yang kutaruh telah raib. Kejadian itu aku utarakan kepada istri dan tidak lupa meminta maaf karena telah menuduh tanpa bukti.
Aku berpikir keras bagaimana agar kejadian di rumahku tidak berulang. Aku ingat bahwa kakekku di Wonosari adalah orang pintar. Saat itu juga aku ke Wonosari dengan mengendarai motor.
Singkat cerita, oleh kakek aku diberi tahu bahwa di rumahku itu terdapat Pasar Lelembut. Mendengar hal itu berdirilah bulu kudukku. Makanya, rumah semegah itu aku beli 25 juta dikasihkan.
Memang, sejak awal menempati rumah itu rasanya lain. Seperti masuk ruang ber-AC meskipun siang hari terasa terik. Bahkan sejak aku tinggal di situ tak satupun tetangga yang pernah berkunjung ke rumah, padahal aku sering bermain ke tetangga.
Di lingkungan Wonokarto aku memang sudah sangat nyaman. Untuk itu aku segera mencari informasi tentang tanah atau rumah dijual. Tidak jauh dari bekas pekaranganku ada orang yang menjual rumah berikut pekarangannya. Rumah itu cukup megah dan menghadap jalan utama. Pemiliknya adalah mantan seorang pejabat. Sebenarnya aku agak ragu untuk menawarnya, sebab kuperkirakan harga mendekati ratusan juta rupiah. Anehnya, rumah semegah itu hanya ditawarkan 30 juta saja. Aku berkata jujur bahwa sebenarnya berminat membeli, tetapi uangku hanya 25 juta. Anehnya lagi, rumah megah itu dilepas oleh yang punya. Aku seperti tidak percaya dengan apa yang aku alami. Namun, semua ini kenyataan.
Awal-awal bulan menempati rumah baru, kehidupan keluargaku biasa-biasa saja. Tidak ada peristiwa yang aneh-aneh. Akan tetapi seiring waktu ada kejadian-kejadian yang tidak masuk akal. Awalnya, aku sering kehilangan uang-uang kecil. Aku biarkan sebab kukira anak atau istriku yang mengambilnya. Namun timbul pikiranku bahwa membiarkan berbuat tidak baik meskipun hanya mengambil uang kecil itu tetap tidak baik. Untuk itu di saat kami makan bersama, aku ungkapkan tentang kehilangan uang itu. Anehnya, istri dan anak-anakku merasa tidak pernah berbuat seperti itu. Jangankan mengambil, ibarat membuka laci tempat menaruh uang saja istri dan anak-anakku tidak berani.
Hari-hari selanjutnya aku sering kehilangan uang dengan nominal yang lebih besar. Jika awalnya hanya 500 atau 1000 rupiah, menjadi 5000 hingga 10000 rupiah. Awal tahun 90-an uang 10000 rupiah itu masih berharga. Kali ini aku marah. Bisa saja alasan anak dan istriku kemarin hanya untuk menutupi perbuatannya. Akibatnya, aku sering bertengkar dengan istriku. Dan kejadian itu hampir setiap hari. Bahkan hal-hal yang sepele bisa menjadi penyebab pertengkaran.
Untuk membuktikan bahwa anak dan istriku tidak mengambil uang, suatu hari Minggu aku menaruh uang dilaci dan kukunci. Aku sengaja tidak kemana-mana waktu itu. Bahkan kunci laci aku kantongi. Beberapa jam kemudian laci aku buka. Betapa kagetnya ternyata uang yang kutaruh telah raib. Kejadian itu aku utarakan kepada istri dan tidak lupa meminta maaf karena telah menuduh tanpa bukti.
Aku berpikir keras bagaimana agar kejadian di rumahku tidak berulang. Aku ingat bahwa kakekku di Wonosari adalah orang pintar. Saat itu juga aku ke Wonosari dengan mengendarai motor.
Singkat cerita, oleh kakek aku diberi tahu bahwa di rumahku itu terdapat Pasar Lelembut. Mendengar hal itu berdirilah bulu kudukku. Makanya, rumah semegah itu aku beli 25 juta dikasihkan.
Memang, sejak awal menempati rumah itu rasanya lain. Seperti masuk ruang ber-AC meskipun siang hari terasa terik. Bahkan sejak aku tinggal di situ tak satupun tetangga yang pernah berkunjung ke rumah, padahal aku sering bermain ke tetangga.
Kulihat Kakek sedang bersamadi dengan mata terpejam. Melihat hal itu, justru pikiranku tertuju istri dan anak-anakku di rumah. Bisa saja karena merasa diganggu Kakek, para lelembut itu ganti menyerang anak-anak atau istriku. Yah, aku hanya bisa pasrah kepada Tuhan Yang Maha Perkasa, semoga anak dan istriku selalu dalam lindungan-Nya.
Kulihat napas Kakek tersengal-sengal. Keringat keluar dari kedua pelipisnya. Pelan-pelan matanya terbuka. Kemudian kakek memandangku. Aku berharap mendapatkan keterangan yang bisa menenteramkan hati. Namun ternyata tidak. Kakke berkata bahwa rumahku itu memang gawat. Jarang sekali orang yang mampu dan betah tinggal di sana.
Menurut kakek, uang yang diambil lelembut itu sebenarnya tidak hilang, bahkan dikumpulkan di suatu tempat seperti layaknya bank. Siapa saja yang mampu tinggal di rumah itu dan apabila mendapatkan ijin dari lelembut, maka dirinya akan memiliki uang yang disimpan di dalam bank tersebut.
Meskipun dengan rasa takut aku memberanikan diri bertanya bagaimana caranya agar kami sekeluarga betah tinggal di rumah itu dan tidak ada hal-hal yang menakutkan atau mencelakakan. Menurut kakek, semua berjalan apa adanya. Siapa saja yang kuat dan betah tinggal di rumah itu selama tiga tahun berarti dialah yang lulus.
Kulihat napas Kakek tersengal-sengal. Keringat keluar dari kedua pelipisnya. Pelan-pelan matanya terbuka. Kemudian kakek memandangku. Aku berharap mendapatkan keterangan yang bisa menenteramkan hati. Namun ternyata tidak. Kakke berkata bahwa rumahku itu memang gawat. Jarang sekali orang yang mampu dan betah tinggal di sana.
Menurut kakek, uang yang diambil lelembut itu sebenarnya tidak hilang, bahkan dikumpulkan di suatu tempat seperti layaknya bank. Siapa saja yang mampu tinggal di rumah itu dan apabila mendapatkan ijin dari lelembut, maka dirinya akan memiliki uang yang disimpan di dalam bank tersebut.
Meskipun dengan rasa takut aku memberanikan diri bertanya bagaimana caranya agar kami sekeluarga betah tinggal di rumah itu dan tidak ada hal-hal yang menakutkan atau mencelakakan. Menurut kakek, semua berjalan apa adanya. Siapa saja yang kuat dan betah tinggal di rumah itu selama tiga tahun berarti dialah yang lulus.
Aku diberi sarana atau cara agar betah tinggal di rumah itu. Sesampainya di rumah aku jalankan semua yang diperintahkan oleh kakek. Malam harinya, aku mendengar suara-suara aneh yang mendirikan bulu kuduk. Suara itu seperti layaknya orang berjual-bei di sebuah pasar. Awalnya hanya terdengar biasa, tetapi lambat laun semakin keras semakin keras dan diakhiri dengan tertawa terbahak-bahak. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Aku berusaha berdiri dan menyalakan lampu yang awalnya sengaja kumatikan. Kulihat anak-anak dan istriku tertidur pulas seolah tidak ada kejadian apa-apa.
Apa yang kualami semalam kusimpan rapat-rapat. Aku berlaku biasa-biasa saja agar istri dan anak-anakku tidak curiga, meskipun pikiranku berkecamuk tidak karu-karuan.
Malam selanjutnya aku kembali menjalankan perintah kakek. Kali ini aku sambil duduk di kursi tamu dan lampu juga aku padamkan. Sejurus kemudian, kakiku seperti ada yang menggelitik. Ketika kulihat ada 4 anak kecil berkepala pelontos. Spontan aku berusaha menangkapnya dan berhasil. Keempat bocah kecil tadi kumasukkan ke dalam toples kaca.
Setelah kututup rapat-rapat, aku bawa ke luar rumah. Dengan sepeda motor keempat bocah dalam stoples tadi kubuang di kuburan sebelah timur SMA Negeri 1 Wonogiri. Semua berjalan begitu saja. Anehnya, aku yang selama ini punya rasa penakut malam itu rasa takut hilang begitu saja. Bahkan aku melangkah di kuburan yang sepi seperti melangkah di tempat ramai banyak orang. Sebaliknya, justru sesampai di rumah aku merasa kebingungan. Aku sepertinya masuk ke suatu tempat asing yang belum pernah kudatangi. Aku berdoa dan melapaskan amalan yang kakek berikan. Pelan-pelan kulihat istriku masih tidur bersama anak-anakku.
Untuk memastikan tentang rahasia rumah ini, aku mencari info ke tetangga sebelah. Sebenarnya aku sudah terbiasa bermain ke rumahnya. Namun selama ini hanya obrolan biasa. Kali ini aku agak canggung untuk ngobrol ke arah persoalan. Untung saja tetanggaku itu orang pandai bercerita sehingga hilang rasa grogiku.
Menurut tetanggaku, rumah yang kutempati itu sudah berganti-ganti pemiliknya. Aku adalah orang keempat menurut pengetahuan tetanggaku tadi. Dulu ada seorang pegawai PJKA yang menempati rumah itu yang katanya beli dari pemilik sebelumnya. Dia menempati rumah itu kira-kira hanya dua tahun. Setelah anaknya meninggal karena kecelakaan motor, rumah itu dijual.
Sekitar akhir tahun 80-an rumah itu berpindah tangan ke seorang pegawai di Dinas LLAJ. Sebab karena rumah dijual dengah harga murah kepadaku adalah karena salah satu anaknya juga meninggal akibat kecelakaan.
Mendegar cerita itu berdirilah bulu kudukku. Pikiranku kemudian tertuju kepada anak-anak dan istriku di rumah. Aku ngelangut. Kemudian mohon diri karena hari telah menjelang magrib.
Aku semakin meningkatkan “tirakat”. Setiap malam tidak tidur. Selalu kulapazkan doa-doa mohon keselamatan dan jalan yang terbaik sehingga terhindar dari pengaruh negatif Pasar Lelembut itu. Setiap malam aku selalu melihat hal-hal yang ganjil dan menakutkan. Aka raksasa dengan mata yang bulat dan besar. Yang paling banyak adalah manusia berbadan hewan, seperti ular, babi, buaya, dan lain-lain. Anehnya aku tidak merasa takut sedikitpun. Hal ini sesuai dengan petunjuk kakek agar aku kuat terhadap apa saja yang bakalan terjadi.
Bayangan untuk memiliki uang yang konon jumlahnya milyaran terlintas di benakku. Ya, siapa tahu jika uang itu adalah hakku. Begitu kata hatiku.
Keadaan rumah tanggaku tenteram tidak ada persoalan. Istri tidak pernah uring-uringan seperti awal-awal menempati rumah itu. Tidak terasa waktu terus berjalan dan mendekati akhir tahun yang ketiga. Seperti kata Kakek, jika aku mampu menempati rumah itu selama tiga tahun akan mewarisi uang yang disimpan di bank milik lelembut itu.
Malam selanjutnya aku kembali menjalankan perintah kakek. Kali ini aku sambil duduk di kursi tamu dan lampu juga aku padamkan. Sejurus kemudian, kakiku seperti ada yang menggelitik. Ketika kulihat ada 4 anak kecil berkepala pelontos. Spontan aku berusaha menangkapnya dan berhasil. Keempat bocah kecil tadi kumasukkan ke dalam toples kaca.
Setelah kututup rapat-rapat, aku bawa ke luar rumah. Dengan sepeda motor keempat bocah dalam stoples tadi kubuang di kuburan sebelah timur SMA Negeri 1 Wonogiri. Semua berjalan begitu saja. Anehnya, aku yang selama ini punya rasa penakut malam itu rasa takut hilang begitu saja. Bahkan aku melangkah di kuburan yang sepi seperti melangkah di tempat ramai banyak orang. Sebaliknya, justru sesampai di rumah aku merasa kebingungan. Aku sepertinya masuk ke suatu tempat asing yang belum pernah kudatangi. Aku berdoa dan melapaskan amalan yang kakek berikan. Pelan-pelan kulihat istriku masih tidur bersama anak-anakku.
Untuk memastikan tentang rahasia rumah ini, aku mencari info ke tetangga sebelah. Sebenarnya aku sudah terbiasa bermain ke rumahnya. Namun selama ini hanya obrolan biasa. Kali ini aku agak canggung untuk ngobrol ke arah persoalan. Untung saja tetanggaku itu orang pandai bercerita sehingga hilang rasa grogiku.
Menurut tetanggaku, rumah yang kutempati itu sudah berganti-ganti pemiliknya. Aku adalah orang keempat menurut pengetahuan tetanggaku tadi. Dulu ada seorang pegawai PJKA yang menempati rumah itu yang katanya beli dari pemilik sebelumnya. Dia menempati rumah itu kira-kira hanya dua tahun. Setelah anaknya meninggal karena kecelakaan motor, rumah itu dijual.
Sekitar akhir tahun 80-an rumah itu berpindah tangan ke seorang pegawai di Dinas LLAJ. Sebab karena rumah dijual dengah harga murah kepadaku adalah karena salah satu anaknya juga meninggal akibat kecelakaan.
Mendegar cerita itu berdirilah bulu kudukku. Pikiranku kemudian tertuju kepada anak-anak dan istriku di rumah. Aku ngelangut. Kemudian mohon diri karena hari telah menjelang magrib.
Aku semakin meningkatkan “tirakat”. Setiap malam tidak tidur. Selalu kulapazkan doa-doa mohon keselamatan dan jalan yang terbaik sehingga terhindar dari pengaruh negatif Pasar Lelembut itu. Setiap malam aku selalu melihat hal-hal yang ganjil dan menakutkan. Aka raksasa dengan mata yang bulat dan besar. Yang paling banyak adalah manusia berbadan hewan, seperti ular, babi, buaya, dan lain-lain. Anehnya aku tidak merasa takut sedikitpun. Hal ini sesuai dengan petunjuk kakek agar aku kuat terhadap apa saja yang bakalan terjadi.
Bayangan untuk memiliki uang yang konon jumlahnya milyaran terlintas di benakku. Ya, siapa tahu jika uang itu adalah hakku. Begitu kata hatiku.
Keadaan rumah tanggaku tenteram tidak ada persoalan. Istri tidak pernah uring-uringan seperti awal-awal menempati rumah itu. Tidak terasa waktu terus berjalan dan mendekati akhir tahun yang ketiga. Seperti kata Kakek, jika aku mampu menempati rumah itu selama tiga tahun akan mewarisi uang yang disimpan di bank milik lelembut itu.
Suatu malam, entah malam apa aku lupa. Yang pasti anak bungsuku sejak sore menangis tanpa henti. Padahal badannya tidak ada tanda-tanda sakit. Inginnya digendong terus. Namun, meski dalam gendongan tangisnya tidak pernah berhenti. Anehnya, air matanya tidak keluar, mungkin sudah habis karena menangisnya berjam-jam.
Tengah malam, di saat anakku berhenti menangis, ada suara jelas sekali masuk di telingaku. Suara itu menyatakan bahwa aku berhak memiliki uang di bank pasar lelembut asalkan ada gantinya. Aku bertanya apakah gerangan gantinya. Suara itu menjawab gantainya adalah anakku yang bungsu itu! Aku berteriak, “Jangaaaannn...!” Saat itu juga kulihat anak bungsuku step sambil menjulurkan lidahnya.
“Jangan, aku tidak mau anakku sebagai tumbal....!”
“Tumbal apa, Mas?” tanya istriku. Aku merebut anak bungsuku dari gendongan istriku. Kulihat anakku tengah sekarat. Istriku menciumi bocah umur satu setengah tahun itu dengan isak tangisnya. Pikiranku semakin kalut. Kupegangi nadi di tangannya. Sepertinya tidak ada denyut di situ. Aku berontak, “Tidaaaak....jangan kau ambil anakku!”
“Aku tidak butuh uang. Aku ingin anakku tetap hidup!” kataku sambil terus menggendong anakku. Beberapa waktu kemudian suara itu telah lenyap tidak menjawab. Kulihat anakku bisa membuka matanya. Aku dan istri memeluk buah hati kecilku itu.
Keesokan harinya, aku menceritakan semua kejadian yang kualami sejak awal menempati rumah itu kepada istriku. Untuk itu, melalui kesepakatan bersama, kami akan menjual kembali rumah itu.
Sekitar satu minggu sejak rencana kami menjual rumah itu, adalah calon pembeli datang. Dia seorang PNS di Pemda. Singkatnya, rumah kujual dengan 55 juta rupiah. Dari sejumlah uang itu dapat kubelikan 3 tanah pekarangan. Salah satu pekarangan berhasil kudirikan rumah, sedangkan dua lainnya kutanami buah-buahan.
Entah dari mana asalnya, aku punya pikiran untuk membantu agar yang membeli rumahku di Wonokarto bertahan lama dan tidak mendapat gangguan dari para lelembut di Pasar Lelembut itu. Tiba-tiba ada inisiatif untuk membangunkan rumah kecil di salah satu sudut pekarangan dengan maksud agar digunakan para lelembut sebagai pasar. Saranku itu benar-benar dilaksanakan. Alhamdulillah sejak saat itu tidak ada kejadian yang negatif pada keluarga itu meskipun telah puluhan tahun menempati rumah yang ada Pasar Lelembutnya. Begitu juga aku dan keluargaku selalu mendapat lindungan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Amin. (Pal).
Tengah malam, di saat anakku berhenti menangis, ada suara jelas sekali masuk di telingaku. Suara itu menyatakan bahwa aku berhak memiliki uang di bank pasar lelembut asalkan ada gantinya. Aku bertanya apakah gerangan gantinya. Suara itu menjawab gantainya adalah anakku yang bungsu itu! Aku berteriak, “Jangaaaannn...!” Saat itu juga kulihat anak bungsuku step sambil menjulurkan lidahnya.
“Jangan, aku tidak mau anakku sebagai tumbal....!”
“Tumbal apa, Mas?” tanya istriku. Aku merebut anak bungsuku dari gendongan istriku. Kulihat anakku tengah sekarat. Istriku menciumi bocah umur satu setengah tahun itu dengan isak tangisnya. Pikiranku semakin kalut. Kupegangi nadi di tangannya. Sepertinya tidak ada denyut di situ. Aku berontak, “Tidaaaak....jangan kau ambil anakku!”
“Aku tidak butuh uang. Aku ingin anakku tetap hidup!” kataku sambil terus menggendong anakku. Beberapa waktu kemudian suara itu telah lenyap tidak menjawab. Kulihat anakku bisa membuka matanya. Aku dan istri memeluk buah hati kecilku itu.
Keesokan harinya, aku menceritakan semua kejadian yang kualami sejak awal menempati rumah itu kepada istriku. Untuk itu, melalui kesepakatan bersama, kami akan menjual kembali rumah itu.
Sekitar satu minggu sejak rencana kami menjual rumah itu, adalah calon pembeli datang. Dia seorang PNS di Pemda. Singkatnya, rumah kujual dengan 55 juta rupiah. Dari sejumlah uang itu dapat kubelikan 3 tanah pekarangan. Salah satu pekarangan berhasil kudirikan rumah, sedangkan dua lainnya kutanami buah-buahan.
Entah dari mana asalnya, aku punya pikiran untuk membantu agar yang membeli rumahku di Wonokarto bertahan lama dan tidak mendapat gangguan dari para lelembut di Pasar Lelembut itu. Tiba-tiba ada inisiatif untuk membangunkan rumah kecil di salah satu sudut pekarangan dengan maksud agar digunakan para lelembut sebagai pasar. Saranku itu benar-benar dilaksanakan. Alhamdulillah sejak saat itu tidak ada kejadian yang negatif pada keluarga itu meskipun telah puluhan tahun menempati rumah yang ada Pasar Lelembutnya. Begitu juga aku dan keluargaku selalu mendapat lindungan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Amin. (Pal).
Oleh : Parpal Poerwanto
Comments
Post a Comment